top of page

Memperdebatkan Film 'Act of Killing'

Sebagai Produk dan Siasat Politik

Perspektif saya tentang film Act of Killing merupakan akumulasi dalam beberapa pemutaran dan diskusi tentang filmnya dan proses lama belajar dan meneliti sejarah (dan sejarah sinema) di Indonesia.

Juga berdasarkan pertanyaan-pertanyaan saya yang muncul dari

film-film dokumenter lain tentang Indonesia, seperti ''Bentuk Bulan'' (2004) oleh Leonard Retel-Helmrich,

yang juga menjadi sangat "laris" di pasar festival film International.

Oleh: Dag Yngvesson

Filmmaker & kandidat doktor bidang Cultural Studies di University of Minnesota, USA.

Saya beruntung, karena saya pernah punya kesempatan untuk bicara agak panjang dengan ko-sutradaranya Jagal yang orang Indonesia lewat Skype (tapi saya tidak diberi tahu identitasnya). Hal-hal yang dia ceritakan soal proses pembuatan filmnya membuat saya cukup mengagumi seluruh tim film ini.

 

Mereka, katanya, mimpi buruk setiap malam waktu berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam proses shoting filmnya, karena mereka merasa bahwa posisi mereka sangat berbahaya, secara keamanan maupun secara etis, karena memang mereka mendekati orang-orang yang mereka pada dasarnya ingin mengkritik dan mengekspos sebagai pembunuh.

 

Tapi selama enam tahun lebih, mereka tetap berdedikasi kepada proyek ini. Sangat sayang, menurut saya, bahwa ketegangan dan keberagaman di balik kamera sama sekali tidak terasa di film ini, yang dibuat dari proses tersebut. Justru kita hanya mendengar Joshua sebagai suara “rasionalitas asing” yang selalu kalem dan bertemperamen manis, dan mampu mengoda pembunuh untuk menceritakan kekerasaan masal yang mereka pernah berbuat.

 

Dalam wawancara (VOA), Joshua membandingkan proses pembuatan dan peredaran Jagal dengan sebuah kisa kanak-kanak oleh Hans Christian Andersen, “The Emperor’s New Clothes.” Menurut Oppenheimer, film Jagal itu seperti anak kecil dalam ceritanya yang membuka mata dan mulut rakyat dengan cara yang sangat sederhana: dia melihat raja yang tidak memakai baju, dan dia mengatakannya secara umum.

 

Setelah itu (intinya) raja jatuh, dan pemimpin harus jujur dengan rakyat, yang juga mampu mengkritik. Yang sangat pas di sini adalah bahwa Jagal menawarkan posisi aktivisnya sendiri yang seolah-olah seperti anak kecil yang lucu dan tidak bersalah, juga belum bisa dikatakan terlibat dalam arus politik atau ekonomi apapun: sehingga dia merupakan posisi moral/etis yang paling bersih dan oleh karena itu tidak boleh dipertanyakan.

 

Sebaliknya, Jagal melihat Indonesia sebagai anak yang serba nakal dan tidak pernah dewasa. Kita sangat tahu bahwa posisi seperti itu merupakan pandangan “asing” karena tidak akan pernah ada di mana-mana dan kapan pun. Siasat film ini yang mendudukkan diri sendiri sebagai pembicara tunggal sebuah “kebenaran baru” dan menggambarkan perubahan 180 derajat nasib dan politik sebuah negara tentu tidak hanya dikenali dan dibangun dari kisah kanak-kanak, tetapi juga dari sejarah yang diceritakan oleh Orde Baru sendiri sejak 1965.

 

Akhirnya, saya berharap bahwa dengan film berikutnya, tim Jagal mampu mengeluarkan diri mereka dan karyanya dari wacana mitos seperti itu.

Ketika Majalah Tempo membuat edisi khusus soal kekerasaan dan pembunuhan ’65, saya yakin, film ini bisa menjadi pertanda adanya kejadian penting dalam perjuanga­­­­n menginvestigasi dan menganalisa sejarah Orba: Sebuah proses yang waktu itu sudah berlangsung serius dan umum sejak 1998.

 

Kini setelah kira-kira 1,5 tahun, apalagi setelah Jagal mendapat banyak penghargaan internasional dan nominasi Oscar, kita mungkin tidak heran dengan adanya respon dari berbagai pihak. Termasuk ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan yang mengkritik cara Jagal menciptakan sebuah konstruksi kehidupan bernegara di Indonesia dan menjualnya dengan citra sinematis ke berbagai penjuru dunia.

 

Citra Buruk

 

Kalau Teuku Faizasyah, juru bicara kepresidenan Indonesia, menyatakan Jagal menunjukkan Indonesia sebagai negara yang “kejam dan tak terhukum,” dan “sangat terbelakang,” maka kita sebagai penonton bisa memahami maksud kata-kata itu, walau mungkin kurang setuju. Indonesia di layar lebar ketika Jagal diputar, dan di wacana sejumlah diskusi, bukan merupakan sebuah gambaran negara Indonesia yang selama ini kita kenal. Bahkan jauh sekali.

 

Padahal kita semua sadar banyak preman yang masih berkeliaran. Pemuda Pancasila (PP) juga aktif bahkan tambah banyak pendukungnya,, juga ormas lain yang dilindungi atau digerakkan pemerintah dan militer untuk melakukan hal-hal yang kurang manusiawi atas nama kekuasaan. Kenapa citra Indonesia dari Jagal terasa jauh? Mungkin karena sikap pembuat filmnya terhadap Indonesia cukup monolitik.

 

Menurut Joshua, sutradaranya, film ‘Jagal’ hanya merupakan “satu pixel” dari realitas yang terjadi di Indonesia. Apakah Anwar Congo, pembunuh masal dan preman PP yang membintangi film itu dapat mewakili 10 ribu orang Indonesia lain? Belum tentu. Terlebih lagi, Joshua mengatakan bahwa Jusuf Kalla, Yapto Suryosumarno, atau mantan Wagub Sumut, yang juga muncul dalam film tersebut sebagai koruptor dan pendukung pembunuhan masal, pada dasarnya sama saja dengan politikus manapun di Indonesia sekarang, ini. (Lihat wawancara Joshua online di VOA Indonesia).

Pandangan Asing & Baju Baru Sang Raja

 

Setiap menonton Jagal ada sejumlah pertanyaan yang selalu muncul di benak saya: Seandainya siasat, wacana dan citra Indonesia dibuat lebih lengkap sehingga kompleksitas negara dan rakyat Indonesia berhasil ditampilkan, apakah film tersebut kurang laris di pasaran? Maka kurang efektifkah sebagai alat aktivisme yang menarik perhatian ke masalah kekerasan Orba?

 

Ini penting, saya kira, tidak hanya untuk jalan ke depan setelah kemunculan film ini, tapi juga untuk memikirkan film kedua tim Jagal yang belum dirilis, dan katanya akan berfokus kepada “korban.” Maka saya ingin sedikit juga mempertanyakan cara film Jagal merepresentasikan apa dan siapa yang terdapat dibalik kamera dan layar.

 

Tentu kita bisa mengerti sanggahan Anonymous (sebuah sumber tim film ‘Jagal’) terhadap komentar pemerintah yang menyatakan Jagal merupakan pandangan asing. Dia menyanggah karena memang banyak sekali orang Indonesia yang mengerjakan filmnya secara kreatif dan intelektual.

 

Tapi kalau kita melihat “finished product” yang dibangun oleh timnya, memang yang “terlihat” (dari suaranya yang jelas ada “logat” dan gaya Amerika, padahal cukup lancar dalam bahasa Indonesia) sebagai auteur film ini adalah hanya Joshua. Terlebih lagi, ketika dalam filmnya dia sampai ke isu soal solusi masa kini untuk masalah ketidakadilan dan kekerasan masa lalu, dia seolah-olah hanya punya satu bahasa untuk mengkonseptualisasi sebuah proses kebenaran atau penghukuman: dia mengancam membawa salah satu pembunuh ke Den Hague dan/atau diadili oleh hakim dan hukum internasional.

 

 

 

Contoh ini memang bisa dikatakan sebagai perspektif asing (yang terkait dengan peran problematis AS sebagai “polisi dunia” yang secara munafik sering menolak sendiri dengan keras diadili di Den Hague, padahal sudah pernah sering kali berbuat pelanggaran HAM sendiri).

 

Selain ancaman Joshua ini, tidak ada pikiran atau saran lain tentang sebuah solusi yang bisa dilaksanakan di Indonesia. Mungkin ini karena seperti disebut tadi di atas, Indonesia, dalam wacana Jagal, terlihat tidak mampu untuk mencari solusi sendiri, maka akan diadili di wilayah negara-negara Barat yang seolah “netral.”

 

Leslie Dwyer (forthcoming di Critical Asian Studies Journal) juga mengutip Oppenheimer (dari wawancara di Documentary Chanel) memakai contoh kisah "The Emperor's New Clothes" dari Hans Christian Andersen.

 

Professor Dwyer juga menaruh perhatian dengan bagaimana Joshua memposisikan Act of Killing sebagai kebenaran baru yang kemungkinan menutup sejarah aksi dan pandangan kritis oleh para "korban" 1965 di Indonesia. Perspektif saya tentang sejarah activisme di Indonesia terisnpirasi oleh banyak diskusi dengan Leslie Dwyer, Degung Santikarma, dan Rachmi Diyah Larasati dll.

Intinya kita diajak melihat Indonesia sebagai negara yang total korup, seolah tidak ada ruang negosiasi sama sekali di antara kekuasaan dan kita. Sehingga tampaknya di Indonesia, terjadi kekosongan aktivisme dan kegiatan para aktivis, sebelum ada Act of Killing. Film tersebut seakan menyerukan Indonesia hampa, tanpa kehadiran orang-orang berpikiran kritis.

 

Seperti kata Joshua dalam wawancara VOA, ‘’Indonesia tidak pernah berubah sejak pembunuhan masal. Tahun 2013 merupakan sambungan dari tahun 65”, katanya. Menurut saya, itulah yang menjadi ganjalan alur naratif film ini.

© 2014 design by Didi Prambadi, Indonesian Lantern Media LLC. USA

  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic
  • RSS Classic
bottom of page