top of page

Satu hari di masa lalu,


Saya sempat menonton sebuah film komedi saat meliput festival film di sebuah negeri Timur Tengah.

 

Film berjudul "Well Done, Abba" produksi India itu menurut saya sangat lucu, bahkan jenius menggambarkan busuknya sebuah masyarakat yang membiarkan korupsi mengakar.

 

Film ini digarap berdasar beberapa kisah nyata yang dibaca sang sutradara di koran lokal India. Berbeda dengan film-film anti-korupsi Indonesia yang baru sampai pada penggambaran bagaimana kisah korupsi dilakukan, bagaimana dilema mereka yang terjebak dalam pilihan (korupsi atau tidak), atau bagaimana individu-individu terkena akibat korupsi, film komedi India ini memilih memperlihatkan 'sakit'nya masyarakat yang terjerat rantai korupsi. 

 

Dengan gegap-gempita, film ini meriuhkan segala tradisi korupsi itu ke dalam jalinan cerita yang berujung pada sebuah laporan kehilangan yang maha absurd. Bagaimana bisa sesuatu yang tak mungkin hilang dilaporkan hilang? Apa yang terjadi jika apa yang dalam logika akal sehat tak mungkin hilang itu, ternyata terbukti dan terbenarkan (memang hilang) berdasar semua catatan, laporan dan dokumen birokrasi yang ada di arsip pemerintah? 

 

Film ini menggambarkan dengan jelas: Sebuah negeri yang hidup bersahabat dengan korupsi memang tanpa sadar berfikir dengan cara dan prinsip-prinsip yang sungguh korup.

 

Saya mengingat lagi film "Well Done Abba" pagi ini, ketika membaca kabar pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi di negeri yang saya cintai ini, mengumumkan secara terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Komisi yang dipimpinnya KALAH. 

 

 

Satu hal yang paling saya ingat saat saya menonton film "Well Done, Abba" adalah reaksi dua rekan saya sepanjang film diputar. Kritikus film asal Thailand yang duduk di sebelah saya, menikmati dan memahami hampir semua humor dan lelucon yang ditumpahkan sutradara. Berkali-kali ia tersenyum kecut dan terbahak.

 

Seusai film, kami saling berpandangan, tanpa bicara kami tahu, film ini juga bicara tentang negeri kami masing-masing. Tapi, jurnalis Jepang yang juga menemani kami menonton film ini, nyaris tak bisa memahami ironi, bahkan juga kisah absurd dalam film ini. Tak putus ia bertanya, beberapa hal yang sulit dipahaminya seusai film. Buat dia, film ini sama sekali tak menarik.

 

Mungkin, Indonesia dan Thailand sama-sama berada dalam situasi dimana korupsi telah lama menang, hidup bernafas dengan leluasa, sehingga yang tak masuk akal pun sudah menjadi norma, yang jungkir balik sudah lama dianggap biasa. Sementara bisa jadi, warga Jepang itu sudah terlalu lama bisa bernafas dalam udara yang relatif bebas korupsi. Ah, entahlah.. itu mungkin pembacaan yang terlalu jauh.

 

Yang jelas, pagi ini saya melihat wajah ibu mertua saya, seorang perempuan sederhana yang sebulan terakhir ini menambah doa-doa hariannya dengan doa untuk Komisi Pemberantasan Korupsi, berubah. Ia kecewa, patah hati. Mungkin tak terbayang oleh pikiran sederhananya, kebenaran akhirnya takluk, entah oleh apa..

 

Catatanku ini sebenarnya juga untuk dua sahabatku Arif Zulkifli dan Ratih Wulandari .. doaku buat kalian berdua

Well Done Abba

Oleh: Krisnadi Yuliawan

© 2014 design by Didi Prambadi, Indonesian Lantern Media LLC. USA

  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic
  • RSS Classic
bottom of page