Menanti Keadilan: Para Korban Tragedi Mei 1998
Oleh: Dewi Anggraeni
Mengapa menulis buku tentang sesuatu yang terjadi 15 tahun silam? tanya beberapa teman ketika saya mulai penelitian atas tragedi yang dikenal sebagai Kerusuhan Mei 1998. Sebabnya banyak, dan akumulatif.Waktu berita tentang kerusuhan Mei pecah, komunikasi telepon saya dengan teman-teman dan rekan-rekan di Jakarta sangat mengejutkan. Penembakan mahasiswa Trisakti, pembakaran, penghancuran.
Saya tidak berhasil mendapatkan hubungan telepon dengan teman-teman di kota lain seperti Solo, Surabaya, Medan dan lainnya. Namun yang di Jakarta saja sudah membuat saya merasa frustrasi dan tidak berdaya. Semua teman saya mengatakan, 'Kamu jangan datang ke sini. Akan cuma merepotkan kami saja. Muka kamu Cina, mau cari penyakit? Kan kamu tahu, yang dijadikan sasaran Cina?' begitu pesan yang disampaikan mereka dengan gaya-gaya bahasa sendiri sendiri. (Uraian selengkapnya,..)
Dalam kegelisahan luar biasa ini, waktu saya mendengar tentang perkosaan-perkosaan keji yang terjadi, saya tidak percaya. Terlalu keji dan kejam, pikir saya. Tidak mungkin orang Indonesia melakukan perbuatan sekeji itu. Pasti ini cuma cerita bohong, begitu saya memutuskan. Sesudah itu sayapun membungkus diri saya dengan mantel penangkis.
Cerita-cerita yang saya sebut bohong itu masih berdatangan, tapi segera mental kembali terbentur mantel saya yang ampuh. Sampai suatu hari saya ditanya seorang teman apa saya berminat bertemu dengan seorang korban yang berhasil dibawa kabur ke Melbourne. (Uraian selengkapnya)...