top of page

Empat Puluh Tahun Bersama Suara Amerika, VOA

Oleh: Abdul Nur Adnan

Tidak persis 40 tahun. Persisnya 39 tahun 4 bulan. Waktu yang cukup lama. Apa yang saya kerjakan selama itu? (klik cerita lengkapnya di sini) Boleh dikatakan semua aspek tentang radio, dari mencari isinya, soal laporan, wawancara, membuat features, dan lainnya, hingga bagaimana produk itu bisa dikomunikasikan ke pendengar nan jauh di sana. Artinya kami yang disebut “penyiar” itu sebenarnya tidak hanya duduk di depan corong dan kemudian berhalo-halo. Tapi menyediakan bahan apa yang diomongkan itu dan memproduksi acara itu kecuali mengoperasikan kegiatan yang sifatnya tehnis.

Saya mulai bekerja pada tahun 1969, tahun ketika Indonesia sedang menggeliat dari hura-hura revolusi, menata ekonomi yang lama dipinggirkan, dan sudah tentu juga menata dunia politik. Untuk menata ekonomi itu, para pakar waktu itu mengambil langkah-langkah yang akibatnya terasa terutama bagi orang seperti saya yang boleh dikatakan baru lulus dari universitas dan mencari pekerjaan. Langkah itu antara lain menutup untuk sementara waktu semua departemen pemerintahan dari menerima pegawai baru. Jadi kami, termasuk saya, harus mencari jalan lain.

Saya lulus Universitas Gajah Mada, Fisipol jurusan Hubungan Internasional tahun 1966, beberapa tahun sebelum saya diterima kerja di Washington, DC . Kita tahu tahun 1966 adalah tahun pergolakan. Selama 3 tahun, sebelum saya mendapat tempat kerja di luar Indonesia, saya bekerja sebagai wartawan koran daerah di Yogya. Ini ternyata dapat memperkuat curriculum vitae saya dalam bidang jurnalistik, yang ikut membantu untuk dapat bekerja di Voice of America, VOA.

Apalagi sebelum jadi wartawan, ketika mahasiswa, saya mendapat pengalaman di bidang keradioan, ketika saya selama 4-5 tahun bersama-sama kawan-kawan lain mengasuh “Universitaria”, acara RRI Yogya, yang disiarkan tiap hari pada hari kerja.

Untuk bisa diterima di VOA, sudah tentu saya harus menguasai Bahasa Inggris, setidaknya bisa menerjemahkan teks dari bahasa itu ke bahasa Indonesia yang baik. Itu sedikit banyak sudah saya miliki, karena waktu SMA saya beruntung menjadi salah seorang yang mendapat beasiswa belajar di AS oleh American Field Service (AFS) yang terkenal itu.

Syarat lain adalah suara serta kepandaian membaca yang tidak terlalu jelek. Kepandaian jurnalisitik lainnya, seperti mewawancarai orang, Alhamdulillah sudah saya peroleh ketika menjadi penyiar radio mahasiswa tadi, dan kemudian menjadi wartawan lokal. Saya sering pula mengisi majalah-majalah nasional, seperti Siasat, Intisari dan Selecta. Lengkaplah: pengalaman jurnalistik, tulis-menulis dan ngomong di depan corong. Karena itu tes yang harus saya ambil di Kedutaan Besar Amerika di Merdeka Selatan itu tidak terlalu sulit saya lewati.

Tahun 1969 bagi radio gelombang pendek seperti VOA, yang menjadi saingan BBC, Radio Australia, Radio Nederland, Deutche Welle, merupakan saat-saat pertengahan masa kejayaan. Sebelum tahun itu, RGP, Radio Gelombang Pendek, memang mengalami masa kejayaan di Indonesia, yaitu jaman “Revolusi Belum Selesai”. Yaitu masa ketika menurut Bung Karno Indonesia harus menemukan kepribadian nasional, yang arti operasionalnya, melarang musik yang dinamakannya musik “ngak,ngik, ngok”, alias musik barat, dikumandangkan di radio satu-satunya waktu itu, yaitu Radio Republik Indonesia, RRI.

Musik semacam itu, kata BK, tidak lain dari bentuk kolonialisme/imperialism baru, alias nekolim, Neo-kolonialisme dan Neo-imperialisme. RRI juga merupakan satu-satunya sumber berita udara. Sebab, jika di darat masih ada suratkabar, meskipun juga di bawah pengawasan ketat. Publik yang senang dengan lagu-lagu ngak ngik ngok dan berita yang tidak resmi kemudian mengalihkan kuping mereka ke radio-radio luar negri yang hanya dapat ditangkap melalui gelombang pendek (short wave).

Untungnya, hampir semua radio yang beredar di Indonesia waktu itu mempunyai sarana gelombang pendek itu. Karena itulah nama-nama seperti Kamargo, penyiar VOA atau Ebet Kadarusman, Radio Austrlaia menjadi terkenal seperti bintang panggung. Jadi bekerja sebagai “penyiar” radio internasional mempunyai kebanggaan tersendiri.

Voice of America atau Suara Amerika Seksi Indonesia (SASI) adalah satu-satunya radio yang dikelola pemerintah Amerika. Selain Bahasa Indonesia, ada lebih 50 bahasa asing yang digunakan di lembaga radio internasional itu. Radio ini khusus ditujukan ke luar negri, justru dilarang untuk dipancarkan ke dalam negeri, tidak seperti RRI. Jadi mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di AS akan kesulitan menangkap siaran radio ini.

Memang semua siaran radio ini dimulai sebagai pengimbang siaran radio-radio musuh Sekutu (Jepang dan Jerman) waktu Perang Dunia II. Jadi semacam radio propaganda. Tapi VOA ingin berbeda dengan radio-radio propaganda yang ada. VOA ingin menyiarkan berita-berita yang enak terdengar di telinga (berita-berita kemenangan), juga yang tidak enak (kekalahan-kekalahan). Artinya ingin menggarap berita seobyektif mungkin. (klik lengkapnya di sini..)

Itu yang membedakan mereka dengan radio-radio propaganda Jepang dan Jerman waktu itu. SASI memulai siarannya pada tahun 1943, dalam Bahasa Jawa. Penyiar pertama yang direkrut adalah seorang pemuda Indonesia yang sedang belajar mengenai intelijen di Australia, bernama Sudjono. Dia kelak menjadi perwira tinggi AURI, dubes di Suriah dan salah satu Ketua DPRGR.

Bagi mereka yang suka berkecimpung di dunia jurnalistik pada umunya, bekerja di SASI ini menyenangkan juga. Dia akan dapat mengikuti apa yang sedang terjadi di dunia, dia dapat mengembangkan bakat kewartawanannya, dan ya gaji –meskipun tidak terlalu melimpah— tetapi mencukupi. Kesehatan terjamin, ada asuransi, ada jaminan hari tua atau pensiun dan pendidikan anak-anaknya terpelihara.

Karena saya senang mengamati dunia kampus sisa-sisa masa mahasiswa dan aktif di Universitaria), maka tugas khusus pertama yang dibebankan kepada saya adalah melaporkan kegiatan mahasiswa. Acara mingguan pertama yang saya kemudiakn itu saya namakan “Keliling Kampus”. Saya senang dengan program ini, karena saya melihat kemungkinan ke depan, yaitu saya akan betul-betul berkeliling kampus di berbagai universitas di Amerika.

Dan itu terlaksana, ketika saya mengusulkan agar kita mewawancarai mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang terserak di berbagai universitas Amerika, dari Harvard di pantai timur, Wisconsin di Amerika Tengah, sampai Berkeley di pantai barat. Juga karena minat saya yang tinggi untuk mengamati perkembangan Islam, maka ketika pihak pimpinan menginginkan SASI membuat sesuatu yang akan menjelaskan kepada para pendengar di Indonesia yang mayoritas Muslim, bahwa Amerika tidak memusuhi Islam, bahwa Islam diberi kesempatan yang sama dengan agama-agama lain untuk tumbuh dan para pengikutnya menjalankan kewajiban keagamaannya dengan bebas, mereka melirik saya, dan lahirlah acara “Islam di Amerika”, yang berkumandang tiap Jumat pagi, seminggu sekali.

Acara ini dianggap strategis oleh pimpinan, karena banyak orang Indonesia yang salah paham, apalagi waktu itu, revolusi Iran sedang memperoleh kemenangan dan mereka memropagandakan bahwa Amerika adalah Negara Setan yang memusuhi Islam dan umat Islam. Acara ini kadang-kadang disalah persepsikan oleh para pendengar Non Muslim di Indonesia, seolah-olah SASI memanjakan Islam. Bagi pemerintah Amerika memang ada kebutuhan untuk itu. Acara, yang bertahan sampai 20 tahun ini memang cukup popular sampai masuk ke novelnya Ahmad Fuadi “Negri 5 Menara”. Itu hanya menyebut dua di antara sekian banyak program yang kemudian saya tangani.

Aneh, agak “kejam” barangkali untuk mengatakan, bahwa semakin rusuh keadaan di Indonesia, semakin “aman” kedudukan kami. Maksud saya begini. SASI ini sudah berkali-kali dilirik oleh yang punya untuk ditutup, karena dianggap misinya sudah berhasil, Indonesia sudah berada “di tangan.” Ketika hubungan antara RI dibawah Pak Harto dan Pemerintah Amerika sudah dianggap solid, apalagi gunanya punya siaran khusus ke Indonesia.

Tapi tiba-tiba pecah reformasi. Timor Timur bergolak. Peristiwa 9/11. Perang Irak dan Afghanistan. Demonstran-demonstran mengacung-acungkan tinju di depan Kedubes Amerika di Merdeka Selatan. Dalam keadaan seperti itu, pihak yang menentukan hidup-mati SASI berbalik langkah, SASI harus dipertahankan, malah diperkuat. Anggaran ditingkatkan. Dan kami pun secara bergilir dikirim ke Indonesia untuk meliput keadaan dari dekat. Disewakan sebuah apartemen yang nyaman. Saya termasuk yang mendapat kesempatan ditempatkan di Jakarta. Sekali penugasan selama tiga bulan. Sampai empat kali saya ditugaskan di sana, jadi kalau dijumlahkan seluruhnya setahun. Selama itu saya melaporkan tentang Gus Dur diangkat menjadi presiden, Tsunami di Aceh, Timor Timur Bercerai dengan Indonesia, dan banyak lagi.

Ketika pimpinan SASI menyadari dunia siaran gelombang pendek semakin tidak populer, karena radio-radio di Indonesia tidak banyak yang mempunyai gelombang itu, dan juga karena berkembangnya radio swasta, maka pimpinan mulai melangkah ke dunia pertelivisian. Ketika mereka memulai acara TV, HALO VOA, mereka minta saya untuk menjadi pemandunya yang pertama.

Acara yang dimungkinkan dengan kerjasama dengan Indosiar ini, sekali seminggu, tiap Jumat, berjalan selama kurang lebih 2 tahun. Setelah itu, tenaga-tenaga khusus untuk televisi direkrut langsung dari Indonesia, dan terbagi dualah SASI, bagian radio dan bagian televisi. Pada satu saat pegawainya mencapai jumlah 40, sebagai pegawai tetap, dan beberapa pegawai penggal waktu.

Dari sisi kewarganegaraan, pegawai-pegawai SASI itu dibagi dua, yang warganegara dan yang bukan warganegara. Yang warga-negara mendapat keistimewaan-keistimewaan tertentu daripada yang bukan. Saya memilih tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesia saya. Memang banyak yang bertanya mengapa? Bagi saya kewarganegaraan itu tidak bisa dilepas begitu saja, kalau tidak memang betul-betul perlu, seperti menentukan hidup dan mati.

Kewarganegaraan itu seperti kehidupan suami-istri, kita berpisah hanya kalau ada alasan yang maha kuat. Ketertempelan saya pada Indonesia (saya tidak tahu apakah ini yang dinamakan nasionalisme) mungkin karena saya pernah hidup di zaman revolusi. Bagi saya, yang waktu itu masih kanak-kanak (usia 7-12 tahun), masa itu saya rasakan betul. Kakak-kakak saya ikut berjuang, kekurangan makanan dan pakaian, bapak saya harus meninggalkan keluarga untuk menjalankan tugas Negara, melakukan diplomasi ke Makkah, sebagai kepala “Missi Haji” yang ketika pulang tersangkut di Bukittinggi, karena Belanda menduduki sisa-sisa Republik, termasuk kota Solo, tempat kami tinggal.

Rumah kami dibakar, kakek ditangkap, masuk penjara dituduh memberikan perlindungan kepada gerilyawan (memang benar), terkena wabah penyakit yang mengakibatkan beberapa anggota keluarga meninggal, dan kehilangan masa pendidikan selama 2 tahun, karena gedung sekolah kami dibakar. Pokoknya saya merasa ikut “berjuang”, dengan pengorbanan yang tidak bisa lain harus saya berikan. Begitulah saya merasa Indonesia melekat dengan tubuh saya, dimana pun saya berada, dan tidak akan saya lepaskan kalau tidak terpaksa.

Pada tahun 2008 saya merasa, setelah hampir 40 tahun bekerja, sudah cukup dan saya ingin beristirahat, mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan refleksi mengenai hidup saya. Anak-anak saya (tiga putra) dan cucu-cucu saya semua di negri ini, karena itu saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini dan kalau dapat menulis buku mengenai pengalaman saya selama ini, dan mungkin buku-buku lain, dengan harapan mudah-mudahan akan bermanfaat. Toh akhirnya manusia yang paling baik itu adalah yang paling bermanfaat, kan begitu?


 
Follow Us
  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic

© 2014 design by Didi Prambadi, Indonesian Lantern Media LLC. USA

  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic
  • RSS Classic
bottom of page