top of page

Proses Bikin Tuak Nira Dipamerkan Museum Swiss

Proses ekstraksi dan konsumsi tuak nira menjadi bahan kajian ilmiah di Museum Etnografi, Zurich. Tradisi minum minuman tertentu di suatu negara merupakan suatu jenis kebudayaan, yang patut dilestarikan, demikian disampaikan kurator Musem Etnografi Zurich, Andreas Isler, pada KBRI Bern di kesempatan pembukaan pameran kebudayaan minum “Trinkkultur “ sekaligus perayaan hari jadi ke-125 dan pembukaan kembali Museum Etnografi Zurich, pada Kamis (19/6).

Trinkkultur merupakan pameran berbagai minuman tradisional, seperti tuak nira dari Indonesia, susu Alpen Swiss, bir beras dari Cina, kawa dari Vanuatu, bir singkong dari Amazona, serta teh hijau dari Jepang, yang diadakan dari tanggal 19 Juni s.d. 19 Oktober 2014.

Pada pembukaan pameran, yang dihadiri oleh sekitar 200 orang tamu undangan, diperdengarkan alunan musik dari Indonesia, yang merupakan alunan musik yang digunakan pada saat proses ekstraksi tuak nira. Proses ekstraksi dan budaya minum tuak nira ini juga dijadikan bahan kuliah umum di Museum Etnografi, Universitas Zurich, pada Selasa (17/6). Produksi tuak nira dari berbagai jenis pohon palem telah dikenal di Indonesia sejak 1000 tahun lalu.

Pada kuliah umum oleh Prof. Kozok dari Universitas Hawaii ini, selain dipaparkan proses ekstraksi, penyimpanan, dan konsumsi tuak nira, diceritakan juga peranan pohom palem bagi kehidupan masyarakat. Prof. Kozok juga memperkenalkan dimensi mitologis dari ekstraksi tuak.

Museum Etnografi Zurich memamerkan alat-alat yang dipergunakan pada proses ekstrasi dan penyimpanan tuak nira, yang menarik perhatian para pengunjung. Alat-alat tersebut berasal dari tahun 1875-1880, koleksi Museum Etnografi Zurich.

Museum ini juga menyimpan dokumentasi foto dari tahun 1921-1927, yang merupakan warisan ahli geologi Swiss, Wolfgang Leupold, yang pernah tinggal di Indonesia pada saat itu. Sebelumnya, pada tanggal 25 Maret hingga 27 November 2011 , Museum Etnografi Zurich pernah mengadakan pameran bertajuk “Aufschlussreiches Borneo“ (mengungkapkan Borneo). Pameran ini mempertunjukkan artefak dan dokumentasi foto dari berbagai kelompok etnik di Kalimantan Timur, koleksi Wolfgang Leupold.

Pameran serupa juga sempat diadakan di Universitas Indonesia pada tahun 2013, dan pada tahun 2014 di Erasmus Huis, Jakarta. Foto-foto dan dokumentasi tersebut, ditransfer ke Indonesia melalui proyek kerja sama antara antropolog dari Universitas Indonesia dan Paola von Wyss-Giacosa serta Andreas Isler, kurator Museum Etnografi Zurich. Prof. Dr. Mareile Flitsch, Direktur Museum Etnografi Zurich berharap warisan sejarah pengetahuan ini dapat menjadi kontribusi dalam upaya melestarikan sejarah budaya Indonesia.

Tercatat beberapa museum di Swiss, seperti Volkerkunde Museum Zurich, Museum der Kulturen Basel, Museum Della Kultura Lugano, serta Naturhistorisches Museum Bern, memiliki koleksi artefak dan benda-benda cagar budaya dari Indonesia. Para kurator di museum Swiss ini tidak hanya serius dalam mengumpulkan, mendata, dan melestarikan benda-benda budaya dari Indonesia, namun lebih dari itu mereka juga mampu memaknai dan mengapresiasi peradaban budaya leluhur yang hampir terlupakan.

KBRI berharap kerja sama antara museum dan ahli antropologi di Indonesia dan Swiss dapat berkembang dan terus ditingkatkan, mengingat tingginya minat masyarakat Swiss terhadap warisan budaya Indonesia. (detik.com)


 
Follow Us
  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic

© 2014 design by Didi Prambadi, Indonesian Lantern Media LLC. USA

  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic
  • RSS Classic
bottom of page