Orang Indonesia Nomor Satu di Amerika Serikat
Tatkala Tripoli dalam kondisi genting dan segelintir warga Indonesia masih bertahan di kantor Kedutaan Besar Indonesia, ia begitu gelisah. Pejabat tinggi di departemen luar negeri itu langsung memutuskan untuk menutup kantor perwakilan RI. Dan, seluruh warga Indonesia diperintahkan ke luar dari Libya. ''Saya tidak mau mendengar kata tapi atau sebentar! Segera keluar dari Libya,'' kata pejabat Indonesia tersebut.
Itulah sepenggal pengalaman Budi Bowoleksono saat menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri RI. Kini sebagai Duta besar dan berkuasa penuh RI di Washington DC, Budi juga menghadapi banyak tantangan. Satu di antaranya adalah meminta warga Indonesia untuk melapor bila tiba di AS. Sebuah tantangan yang sejak lama belum bisa diselesaikan oleh para mantan dubes di AS maupun dubes di negara lain.
Untuk itu, Budi Bowoleksono berniat menerapkan sistem ‘Lapor Diri’ lewat internet atau telepon pintar. Proses singkatnya, jika ada warga Indonesia yang tiba di bandara di seluruh AS, mereka akan disambut dengan teks atau pesan singkat berisi ucapan selamat datang dari Kedutaan Besar RI.
‘’Kami akan bekerjasama dengan Kementerian Kominfo (Komunikasi dan Informasi) untuk menyusun sistem tersebut. Mudah-mudahan dapat diselesaikan dalam akhir tahun ini,’’ kata Budi Bowoleksono yang akrab dipanggil Sonny. ‘’Prosesnya mudah, cukup hanya mengisi formulir di internet lewat telepon genggam atau komputer. Tidak perlu datang atau kirim surat ke kantor perwakilan RI,’’ kata Sonny. Menurutnya, selain ‘Lapor Diri’ melalui internet, hubungan warga Indonesia dan perwakilan RI bisa dilakukan lewat simpul-simpul masyarakat dan media massa Indonesia yang beredar di Indonesia. ‘’Jumlah warga Indonesia di AS tercatat sekitar 120 ribu sampai 400 ribu,’’ tutur Sonny.
Budi Bowoleksono juga mempromosikan Indonesia di Amerika Serikat lewat masakan. Sejumlah acara juga telah digelar oleh Kedubes RI, di antaranya peluncuran Sambal Anoa yang dilaksanakan di Whole Food Market, Washington DC dan dimeriahkan pertunjukan angklung. Juga acara Bazar Minang di halaman Wisma Indonesia di Washington DC, serta 22nd Annual Safeway BBQ Battle di Pennsylvania Avenue, Washington DC. Di acara itu KBRI bekerjasama dengan Stratford University, menyajikan 200 porsi Indonesian Chicken Satay & salad saus asinan. ‘’Saya ingin tetap menggunakan kata ‘Sate’ sebagai ciri khas Indonesia,’’ kata Sonny yang kenal akrab dengan William Wirjaatmadja Wongso, pakar kuliner Indonesia.
Lewat kuliner juga, Sonny juga lebih akrab dengan Presiden AS Barrack Obama. Saat menyerahkan surat kepercayaan Mei lalu, selain membahas kerjasama politik, ekonomi dan budaya, Sonny juga berbincang soal masakan. Dalam kesempatan itu, diplomat RI ini juga menawarkan membawakan bakso dan nasi goreng. ‘’Tapi sayang, karena tidak diizinkan staf pribadi dan pengawal kepresidenan, saya tidak boleh membawakan makanan itu,’’ kata Sonny, yang disambut gembira oleh Obama. ‘’Pembicaraan pun semakin akrab dan lumer,’’ tutur Sonny bercerita.
Paradigma “win-win” bukan “Zero-Sum”, menurut Sonny harus menjadi landasan yang kokoh kerja sama Indonesia dan AS ke depan. Indonesia sebagai negara ekonomi terbesar di ASEAN dan AS sebagai negara ekonomi terbesar di dunia harus senantiasa menjadi mitra guna memaksimalkan potensi kerja sama kedua negara menuju tahun 2025 demi kesejahteraan rakyat. “Arti penting minyak kelapa sawit, karet dan produk hasil hutan bagi ekonomi Indonesia sama halnya seperti Boeing, General Electric dan General Motor bagi US,’’ lanjut Dubes RI menggambarkan kepentingan mendasar Commodity-based Products bagi menciptakan lapangan pekerjaan dan keberlangsungan ekonomi Indonesia ke depan yang tidak dapat ditawar.
Indonesia sebagai negara mitra ekonomi sudah diperkenalkan Sonny sejak awal karirnya. Lulusan Universitas Krishnadwipayana, Jakarta ini memulai tugasnya sebagai sekretaris bidang ekonomi di Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) New York 1993, saat almarhum Ali Alatas menjadi Wakil Tetap di PBB. Lalu ditugaskan ke Jenewa tahun 1997, ‘’Saat badan WTO (World Trade Organisation) masih baru berdiri,’’ kata Sonny. Dan ditempatkan di Austria di bidang kerjasama ASEAN, sebelum akhirnya menjadi Sekretaris Jenderal di Departemen Luar Negeri.
Di jabatan inilah, Sonny, kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, bertugas menangani sejumlah kantor perwakilan Indonesia di negara-negara yang dilanda krisis dan dianggap rawan. Seperti di Baghdad ibukota Irak, Kabul, Afghanistan, Tunis, Tunisia juga Damaskus, Suriah dan Kenya. Lalu, kenapa Indonesia menempatkan perwakilan di negara-negara rawan itu? ‘’Kehadiran Indonesia dianggap penting oleh mereka, sebagai dukungan moral dan politik di mata dunia. Juga untuk meningkatkan potensi ekonomi dan ekonomi lewat hubungan bilateral antar negara,’’ jelas Sonny. ‘’Salah satu contoh Indonesia juga ikut terlibat dalam pelatihan polisi lalu lintas di Kabul,’’ sambungnya.
Bagi diplomat Indonesia yang bertugas di negara rawan, berarti harus siap dengan tantangan. Di Libya misalnya, kawasan rawan yang aliran listriknya byar-pet, ‘’Tapi kebanyakan ‘pet’nya ketimbang ‘byar’nya,’’ kata Sonny. Juga ada cerita dubes dirampok di Tunis, Tunisia. Bahkan, saat ditugaskan di Baghdad, Irak, Sonny sebagai pejabat tinggi Indonesia dikawal oleh sejumlah pengawal bersenjata.
‘’Ada sekitar 7 mobil yang menjemput saya di bandara. Dalam perjalanan mereka saling berganti posisi agar saya tak diketahui di mobil ke berapa,’’ tutur Sonny. Tugasnya di ibukota Irak itu, untuk menentukan lokasi baru kantor perwakilan Indonesia yang rusak kena bom. ‘’Jika di Green Zone saya khawatir bakal kena serangan lagi. Akhirnya saya tentukan untuk di sebuah kawasan dekat kompleks kementerian Irak dan kedutaan besar negara lain,’’ katanya menjelaskan.
Lantas kenapa dulu berminat jadi diplomat yang penuh resiko seperti itu? ‘’Sejak kuliah saya ingin menjadi diplomat,’’ tutur Sonny. Niatnya muncul sewaktu melihat almarhum Adam Malik, menjadi menteri luar negeri Indonesia yang berkiprah di dunia internasional. ‘’Saya begitu kagum padanya,’’ kata Sonny yang akhirnya melamar di departemen luar negeri. Padahal waktu itu, sebagai mahasiswa, ia telah bekerja paruh waktu di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. ‘’Saya juga ditawari untuk diangkat menjadi pegawai tetap. Tapi saya tidak mau dan akhirnya lolos dan diterima di Departemen Luar Negeri RI,’’ tutur Budi Bowoleksono yang kini menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat.
Budi bersama istrinya Reshanty Bowoleksono tidak ingin hidup glamor seperti diplomat asing. ‘’Saya ingin hidup sederhana. Dan hal itu saya terapkan juga pada Lebdo Handaru, anak saya yang masih bersekolah di SLTA negeri biasa,’’ kata Sonny yang hobi membaca buku. ‘’Orang tua saya orang kampung asal Nganjuk. Ibu saya tidak lulus SD,’’ cerita Budi Bowoleksono, orang Indonesia nomor satu di Amerika Serikat berusia 45 tahun tersebut.