Srikandi Pemadam Kebakaran Surabaya
- Didi Prambadi
- Oct 4, 2014
- 2 min read
Bunyi sirine mobil pemadam kebakaran 10 ribu liter meraung-raung. Gulungan selang yang panjangnya mencapai 30 meter, tergantung rapi namun siap menyemburkan air. Mobil sepanjang 8 meter itu melaju gesit menerobos kerumunan kendaraan di jalanan Surabaya. Puluhan pasang mata pengendara lantas melihat si sopir dengan tatapan kaget sekaligus takjub.

“Biasanya kalau di lampu merah, orang-orang pada ngeliatin saya. ‘Wow, supirnya cewek’ katanya,” ujar Norma Yunita membuka perbincangan tentang pengalamannya. Norma ialah sopir sekaligus operator mesin pompa. Saat Norma melarikan mobil berwarna merah menyala itu, beberapa perempuan lain berdiri di beberapa sisi. Mereka ialah Srikandi Baruna, satuan wanita petugas pemadam kebakaran Dinas PMK Surabaya. Seperti Srikandi Baruna lainnya, gadis berusia 29 tahun itu semula menjadi petugas administrasi. Namun, nasibnya berubah tatkala Kepala Dinas PMK, Chandra Oratmangun menawarkan pekerjaan yang lebih dari komputer saja.

“Waktu itu Bunda (Chandra, Red) bilang, kamu setiap ada kejadian kebakaran selalu ngetik laporannya. Tapi kamu kan nggak melihat langsung. Setelah berdiskusi cukup lama, kami dilatih untuk ikut turun ke lapangan,” ungkapnya. Sejak saat itu, Norma melihat PMK tempatnya mengabdi menjadi penuh dengan tantangan baru. Sebelum menjadi sopir, Norma ditempa menjadi petugas pemadam kebakaran bersama 28 perempuan lainnya. Seiring waktu, hanya 16 srikandi yang dinyatakan siap dan layak turun di lapangan. “Dari 572 karyawan, tahun 2013 kemarin akhirnya ada 16 petugas perempuan,” sahut Chandra Oratmangun yang mendampingi perbincangan pagi itu. Sedangkan 12 wanita sisanya, setidaknya dibekali keterampilan menggunakan handy talky (HT). “Banyak sukanya. Karena penuh tantangan. Dukanya tangan saya pernah keseleo. Kan tuas persnelingnya ada tujuh, beda dengan mobil biasa,” kenangnya.

Lain lagi cerita Anis Mulyati, komandan peleton B Damkar Dinas PMK Surabaya. Seperti stereotype masyarakat terhadap pekerjaan perempuan pada umumnya, ia hanya berada di balik meja. Setelah ‘banting setir’ terjun ke lapangan menjadi Srikandi Baruna, sang suami sempat keberatan. “Lalu saya bilang ke suami, kalau saya yakin menjalaninya. Ibu Chandra juga kasih dukungan. Lama kelamaan suami dan anak saya mendukung,” ujarnya. Ia sendiri sebenarnya takut menghadapi api. “Tapi dengan 1 semangat, dukungan, dan tekad, itu semua bikin kegugupan hilang,” tukasnya. Posisinya sebagai komandan pun tak mudah didapatnya. Diremehkan oleh rekan kerja laki-laki sempat ia rasakan. “Mereka awalnya melihat Srikandi Baruna itu merepotkan, dianggap nggak bisa. Setelah kita buktikan kalau kita mampu, kita dikasih kepercayaan oleh Danton (Komandan Peleton) dan Danru (Komandan Regu). Sama mereka, kita dikasih peran,” ungkapnya girang. Pun dengan masyarakat yang awalnya sempat meremehkan. Anis mengisahkan saat ia turun ke lapangan membawa selang, bersiap menyemburkan air. Tiba-tiba celetukan bernada meremehkan terlontar dari mulut warga. “Mereka tanya; ‘iku isok ta? Ngko gak kuat’ (apa kamu bisa? Nanti nggak kuat, Red),” katanya diiringi tawa renyah.
Chandra menegaskan, para Srikandi Baruna itu bukan sekadar pemanis. Bahkan, peran mereka di lapangan amat dibutuhkan dan menguntungkan. Ia mencontohkan peran Ratna, yang memiliki skill tambahan sebagai petugas PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat). Sebanyak 5 orang Srikandi dibekali kemampuan serupa Ratna.
“Biasanya pas kebakaran yang sering histeris itu ibu-ibu, perempuan. Nah mereka lebih terbuka ketika ditenangkan oleh kami, sesama perempuan,” terang Ratna. (enciety.co)

















Comments