Taufik Ismail: Kami Muak dan Bosan
BEM UI di Kampus UI Salemba, 20 Maret 2015, mendadak menjadi hening ketika alumnus Fakultas Kedokteran Hewan UI (sekarang FKH IPB), Taufik Ismail menyampaikan orasinya. Aktivis 1960-an, budayawan dan penyair senior ini tampak bersemangat dan berapi-api meskipun usia tak lagi muda.

Taufik membeberkan pengalaman pergerakan tahun 1965 di Kampus Perjuangan UI Salemba, kisah yang mengilhami karya puisinya, “Karangan Bunga” (1966), yang sangat terkenal itu.
"50 tahun yang lalu aku berdiri disini sebagai mahasiswa dengan jaket kuning, tahunnya 65,”teriak lantang Taufik Ismail mengawali orasinya. “Pada tahun itu ada seorang mahasiswa di fakultas sebelah sana, Fakultas Kedokteran, yang ditembak mati. Dia disemayamkan di aula.”
“Kemudian, di pintu itu ada tiga siswa SMP membawa karangan bunga, mau masuk ke sini takut, karena di sini semua orangnya dewasa, mahasiswa, dan beratus-ratus di sini. Arif Rachman Hakim disemayamkan di aula di sana,” lanjut Taufik Ismail seraya menunjuk gedung Fakultas Kedokteran UI. “Anak kecil itu membawa karangan bunga, tiga anak kecil berdiri di pintu Kampus UI membawa karangan bunga. Kemudian mereka berkata ‘karangan bunga ini adalah untuk kakak kami, Arief Rachman, yang ditembak tadi pagi’. Aku pada waktu itu berdiri di sini, dengan jaket kuning yang lusuh, menangis melihat itu.”
Bagi Taufik Ismail, gerakan moral melawan koruptor harus terus didengungkan oleh mahasiswa dan seluruh elemen bangsa.
“Pada waktu itu, koruptor-koruptor baru sebesar tikus, sebesar tikus, jumlahnya satu regu,” lanjut Taufik Ismail dengan nada geram. “Tahun 15 ini koruptor-koruptor yang sebesar tikus itu kini sebesar gajah. Dulu cuma satu regu, sekarang satu pelewan. Kita lawan!”
Menutup orasinya, Taufik Ismail membacakan karya puisinya, sebuah kritik pedas bagi bangsa Indonesia, yang berjudul “Kami Muak dan Bosan”.
Dahulu di abad-abad yang silam Negeri ini pendulunya begitu ras serasi dalam kedamaian Alamnya indah,gunung dan sungainya rukun berdampingan, pemimpinnya jujur dan ikhlas memperjuangkan kemerdekaan Ciri utama yang tampak adalah kesederhanaan Hubungan kemanusiaanya adalah kesantunan Dan kesetiakawanan Semuanya ini fondasinya adalah Keimanan
Tapi, Kini negeri ini berubah jadi negeri copet, maling dan rampok, Bandit, makelar, pemeras, pencoleng, dan penipu Negeri penyogok dan koruptor, Negeri yang banyak omong, Penuh fitnah kotor Begitu banyak pembohong Tanpa malu mengaku berdemokrasi Padahal dibenak mereka mutlak dominasi uang dan materi Tukang dusta, jago intrik dan ingkar janji
Kini Mobil, tanah, deposito, dinasti, relasi dan kepangkatan, Politik ideologi dan kekuasaan disembah sebagai Tuhan Ketika dominasi materi menggantikan tuhan
Kini Negeri kita penuh dengan wong edan, gendeng, dan sinting Negeri padat, jelma, gelo, garelo, kurang ilo, manusia gila kronis, motologis, secara klinis nyaris sempurna, infausta
Jika penjahat-penjahat ini Dibawa didepan meja pengadilan Apa betul mereka akan mendapat sebenar-benar hukuman Atau sandiwara tipu-tipuan terus-terus diulang dimainkan Divonis juga tapi diringan-ringankan Bahkan berpuluh-puluh dibebaskan Lantas yang berhasil mengelak dari pengadilan Lari keluar negeri dibiarkan Dan semuanya itu tergantung pada besar kecilnya uang sogokan
Di Republik Rakyat Cina, Koruptor Dipotong kepala Di kerajaan arab saudi, Koruptor Dipotong tangan Di Indonesia, Koruptor Dipotong masa tahanan
Kemudian berhanyutanlah nilai-nilai luhur luar biasa tingginya Nilai Keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa, pengorbanan, Tanggung jawab, ketertiban, pengendalian diri, Remuk berkeping-keping Akhlak bangsa remuk berkeping-keping Dari barat sampai ke timur Berjajar dusta-dusta itulah kini Indonesia Sogok Menyogok menjadi satu, Itulah tanah air kita Indonesia
Kami muak dan bosan Muak dan bosan Kami Sudah lama Kehilangan kepercayaan