top of page

Satu Buruh Migran Hong Kong Jadi Korban Pembunuhan

Wiji Astutik Supardi, seorang Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hongkong ditemukan oleh warga setempat dalam keadaan terbungkus kasur dan telah tewas di sebuah emperan toko di Changsha Street No 1 Mongkok sekitar pukul 10.45 pagi waktu Hong Kong, Senin (8/6/2015).

tki3.jpg

Selain itu, pada jasad Wiji juga terdapat luka memar di bagian lengan dan kaki. Ia diduga disiksa sebelum tewas. Atas kematian Wiji, polisi menjadikan Wahaj Fyaz lelaki berkebangsaan Pakistan selaku pacar Wiji sebagai tersangka.

Wiji adalah BMI korban pembunuhan ketiga di Hong Kong dalam kurun waktu dua tahun ini, setelah Sumartiningsih dan Seneng Mujiasih yang dibunuh banker Inggris tahun lalu.

Berkaitan dengan itu, adik perempuan Wiji, Rinda yang sedang berada di Taiwan meminta agar kasus pembunuhan kakaknya diusut tuntas dan jenazah Wiji segera dipulangkan tanpa biaya karena tergolong keluarga miskin.

Wiji adalah BMI asal Dusun Krajan, Desa Wonokerto, Kabupaten Malang. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya dan mempunyai anak perempuan berusia 11 tahun. Ibu Wiji telah meninggal dunia, hanya Ayahnya yang menjaga anak Wiji selama Wiji berada di Hongkong.

Menanggapi status Wiji sebagai pencari suaka, Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) dalam pers releasenya, Sringatin, menjelaskan bahwa alasan umum buruh migran overstay atau menjadi pencari suaka karena jadi korban majikan jahat atau agen tidak bertanggung jawab. Padahal jika kehilangan pekerjaan, PRT hanya diberi hak tinggal dua minggu dan wajib keluar Hong Kong untuk proses ulang. Juga dilarang pindah ke jenis pekerjaan lain di luar PRT.

tki4.jpg

“Disisi lain, BMI juga terbebani aturan pemerintah Indonesia yang memaksa semua BMI untuk masuk ke PPTKIS/agen setiap kali proses kontrak. Bahkan sejak tahun 2010, KJRI Hong Kong melarang BMI korban PHK untuk pindah agen. Akibatnya, BMI yang pertama kali sudah membayar biaya mahal sekitar HK$16,000 – HK$18,000 (setara 25 – 28 juta rupiah) dipaksa untuk mengulangi biaya itu lagi atau kalaupun lebih murah tergantung ‘kebaikan hati’ agen,” tambah Sringatin

Oleh karena itu, JBMI meminta pemerintah Indonesia untuk segera mencabut moratorium pengiriman PRT dan mengurangi kekuasaan PPTKIS dan agen dengan memberi hak memilih masuk PPTKIS atau proses kontrak sendiri. Bagi BMI yang dirugikan, pemerintah juga harus menjamin hak menuntut ganti rugi. Perubahan aturan ini setidaknya akan sedikit mengurangi keinginan BMI untuk overstay, meringankan beban mereka yang masih bekerja, tidak kesulitan jika harus ganti majikan dan tidak terus menerus diperas PPTKIS/agen.

tki1.jpg


Follow Us
  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic

© 2014 design by Didi Prambadi, Indonesian Lantern Media LLC. USA

  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic
  • RSS Classic
bottom of page