top of page

Kisah Peraih Beasiswa Fulbright, Walau Saat SMA Bahasa Inggrisnya Nol Besar

Kuliah di luar negeri itu bukan jaminan kalau hidup kita bakal berubah 100%, atau kita bakal menjadi manusia super jenius, hebat, keren, dan lain sebagainya. Eventually, kuliah di luar ataupun di dalam negeri, kualitas diri kitalah yang menentukan prestasi & kontribusi seperti apa yang bisa diraih atau doberikan.

budi 2.jpg

Kita tidak perlu punya otak pintar untuk bisa meraih sesuatu, tapi kita perlu ketekunan dan fokus kerja di hal-hal yang menjadi prioritas impian kita. Ingat, tetesan air yang lembut bisa melobangi sebuah batu yang keras bila tetesannya jatuh terus menerus diatas batu itu. Rasanya, otak kita tidak sekeras batu hingga tak bisa ditembus ilmu, bukan? So, pasti bisa belajar saja, cuma ada proses yang harus dilalui, butuh waktu. Fokus ke satu hal. Bangun karakter diri orang menggapai hal yang diimpikan itu. Dapat atau tidak nanti, kita sudah menggapai melalui kualitas diri. Jadi, sekarang bangunlah kualitas diri seperti yang diinginkan, F.O.K.U.S. Pilah apa yg dibaca/dilihat & didengar, perhatikan kualitasnya. Saya dulu benci dan bodoh dalam bahasa Inggris. Otak pas-pasan. Badan kecil. Tampang biasa. Berasal dari keluarga yang kebanyakan putus sekolah. Tapi, dari kecil saya fokus ke satu 1 hal: Saya harus sekolah setinggi-tingginya. Saya simpan tujuan itu dalam hati. Semua aktivitas arahnya kesana.

Nah, pada saat mengikuti ulangan bulanan itulah perubahan terjadi dalam diri saya. Ketika guru membagikan soal, saya mengerjakannya cepat sekali, hingga saya bingung apakah itu karena saya yang memang bodoh atau soalnya yang terlalu mudah. Beberapa hari kemudian, sang guru membagikan hasil ulangan itu. Tahu apa yang terjadi?

Teman saya yang pintar bahasa inggris itu dapat 9 dan saya... dapat 10.

budi 4.jpg

Saya terkejut, kemudian tersenyum melihat nilai saya. Baru belajar 3 bulan sudah bisa dapat 10, gimana kalau saya belajar bertahun-tahun. Berarti bahasa Inggris ini mudah. Sejak itulah, saya memutuskan untuk kuliah mengambil jurusan S1 bahasa Inggris di Unib. Namun, sayangnya semua kebencian saya pada bahasa Inggris harus dibayar mahal saat saya mulai menyukainya. Ketika lulus SMA & mengikuti tes seleksi PT, saya harus mengerjakan soal IPS karena bahasa Inggris di dalam bidang IPS, padahal saya jurusan IPA.

Alhamdulillah, setelah belajar 2 minggu tanpa keluar rumah selain ke Masjid, saya berhasil lulus di jurusan pendidikan bahasa Inggris Unib. Waktu itu, saya satu-satunya dari SMA saya yang lulus. Sempat juga dibilang gila oleh teman-teman karena tidak pernah ke luar rumah 2 minggu itu. Saat mengikuti Ospek, saya tidak mengerti sama sekali penjelasan dosen-dosen yang menggunakan bahasa Inggris. Gimana bisa mengerti, jam bahasa Inggris malah main catur. Mungkin saya bisa dapat nilai tinggi itu karena daya ingat saya cukup bagus. Di dalam ruangan kelas itu (Ospek), saya melongok saja, dosen lancar menjelaskan pakai bahasa Inggris. Saya pikir semua teman juga mengalami hal yang sama, tidak mengerti apa yang dibicarakan dosen. Jadi, saya nyantai aja.. ternyata tidak.

Ketika pembawa acara membuka sesi tanya jawab, satu persatu teman berdiri & bertanya, memang rata-rata mereka lulusan SMA favorit. Saya kaget bukan main.

Mereka bertanya dengan menggunakan bahasa Inggris. Saya aja nggak ngerti apa yang dibicarakan, mereka sudah bisa ngomong. Saat itu saya langsung tersadar kalau saya sudah ketinggalan jauh dan harus melakukan percepatan. Bayangan bakal menjadi mahasiswa abadi pun langsung muncul di kepala. Nggak bisa bahasa Inggris, kuliah jurusan bahasa Inggris, gimana tuh? Walaupun sebenarnya kita kuliah di jurusan tertentu karena ingin belajar tentang itu. Kalau sudah pintar, buat apa kuliah di bidang itu, benar nggak? Hehe cari alasan. So, mau nggak mau saya harus melakukan percepatan. Cara biasa tidak bisa mengejar ketertinggalan saya. Logikanya, kalau teman saya satu langkah, kemudian saya juga satu langkah dengan posisi di belakang mereka, saya akan selalu tertinggal. Saya harus mencari cara bagaimana agar bisa satu langkah teman, tiga langkah saya. Percepatan!

But how? Tetapi bagaimana?

budi 6.jpg

Nah, saat itu saya menemukan satu teori dari Aa' Gym. Namanya teori kupu-kupu. Teori inilah yang mengantarkan perubahan besar dalam hidup saya. Teori yang menurut saya berpengaruh sekali dalam kesuksesan saya memenangkan beasiswa. So, kalau kalian benci dan bodoh di pelajaran Bahasa Inggris, ingatlah cerita saya ini, berarti kalian sedang disiapkan untuk ke luar negeri. Kalau kalian sudah pintar Bahasa Inggris, masa kalah dengan saya yang dulu benci dan bodoh di bahasa Inggris, bisa ke Inggris & Amerika dengan beasiswa. Dimanapun posisi kamu, suka ataupun benci, bodoh ataupun pintar, keep moving forward, stay focused on your goal.

* Budi Waluyo Penerima beasiswa S2 IFP Ford Foundation, USA & S3 Fulbright, Alumni Unib, Univ. of Manchester, UK, & Mahasiswa PhD di Lehigh University, USA. Penulis buku ''The Mancunian Way & Untukmu Scholarship Hunters''


Follow Us
  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic

© 2014 design by Didi Prambadi, Indonesian Lantern Media LLC. USA

  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic
  • RSS Classic
bottom of page