Perjuangkan Hak Atas Hutan
- Farida Indriastuti
- Aug 5, 2015
- 3 min read
Jalanan berkelok ular, menembus hutan belantara di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Di lembah gunung berhawa sejuk itu Masyarakat Adat hidup berabad lamanya, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Siang itu matahari cerah-- hawa dingin menusuk tulang sumsum. Diiringi suara “zig…zag…” Lengkong yang ritmis. Lengkong, delapan ikat padi kering yang ditali pada bambu besar, dipanggul dan digoyang para lelaki dewasa-- hingga menghasilkan komposisi bunyi.

Keharmonisan alam itu gambaran warga adat Kasepuhan Pasir Eurih, Lebak Kaler, Banten. Bendera merah putih dikibarkan menghias langit biru. Semua warga Kasepuhan, perangkat desa dan Ketua DPRD Lebak duduk bersila memenuhi Imah Gede, rumah Ketua Adat Kasepuhan. Abah Aden Sukarma Sarmali Putra pun membuka acara sebagai Tuan Rumah. Konsultasi publik diselenggarakan terkait Rancangan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Adat Kasepuhan, berlangsung sejak pagi hingga sore hari.
Kebijakan negara dianggap timpang, dalam menentukan wilayah adat dan mempersempit ruang gerak. Hak Masyarakat Adat Kasepuhan terhadap tanah dan sumberdaya alamnya dibatasi. Kebijakan mengenai kawasan hutan oleh penguasa kolonial Belanda yang diteruskan pemerintah RI membuat konsepsi Masyarakat Kasepuhan mengenai wewengkon dan leuweung tak lagi selaras-- masyarakat adat tak bisa memenuhi kebutuhan hidup dan mengaktualisasikan ritual-ritual adat yang mereka miliki. Belum lagi persoalan diskriminasi berbasis kepercayaan oleh komunitas masyarakat lain. Kasepuhan memiliki kepercayaan khusus yang terkait erat dengan tanah dan sumberdaya alamnya.

“Upaya pembentukan perda pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat Kasepuhan patut diapresiasi. Tahun 2001 kabupaten Lebak menjadi pelopor pemberian pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dengan perda no. 32/2001 tentang perlindungan hak ulayat masyarakat Baduy. Pada 2003, kabupaten Lebak mengakui keberadaan masyarakat adat di wilayah Banten Kidul dalam SK Bupati Lebak, “tutur Yance Arizona dari Epistema Institute.
Masyarakat adat membuka ruang dialog agar Hutan Adat tetap dipertahankan, memastikan wilayah adat (wewengkon) dan tetap memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupannya. Sedangkan Kasepuhan yang hadir diantaranya Cibarani, Cirompang, Karang, Guradog dan Pasir Eurih sendiri sebagai Tuan Rumah pada Sabtu, 1 Agustus. Sedangkan pada pertemuan ke 2, Senin 3 Agustus, dialog digelar di Kasepuhan Cisungsang. Yang dihadiri oleh 15 Kasepuhan di wilayah Selatan, mewakili 6 Kasepuhan Induk yang tersebar di Lebak Kidul, yaitu Ciptagelar, Cicarucub, Citorek, Sinaresmi, Ciptamulya dan Cisungsang sendiri.
“Perda ini merupakan bagian dari pemenuhan negara atas hak konstitusi masyarakat adat, yang juga diharapkan menjadi salah satu solusi penyelesaian konflik tenurial yang sekarang dihadapi masyarakat Kasepuhan, “ujar Andi Komara dari Rimbawan Muda Indonesia. Masyarakat adat telah mendiami kawasan di 3 wilayah kabupaten; Bogor, Sukabumi (Jawa Barat) dan Lebak (Banten).
Masyarakat adat mendiami wilayah yang luas dan memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda: Sunda Wiwitan dan Islam. Wilayah itu masih merupakan hutan-hutan karena kebudayaan mereka bertumpu pada alam. Kebudayaan mereka terkait erat dengan sumberdaya hutan. Seperti Leuit atau lumbung padi, serta zonasi hutan adat merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Kasepuhan untuk menjaga kehidupan dan alam tetap lestari. Sekaligus menjaga mereka dari gempuran sistem pasar global.
“Kami masyarakat adat punya aturan, pohon Rasamala di hutan tidak boleh ditebang, karena itu ratu kayu. Orang adat mengambil kayu yang ambruk, kadang kayu puspa dan kayu kayang di hutan untuk bangun rumah, tapi ditangkap petugas Taman Nasional. Berbeda dengan perusahaan yang menebang banyak kayu (ilegal logging). Makanya seperti hutan rotan diperjuangkan untuk dikelola masyarakat adat, “ujar Sanudin.

Selama ini masyarakat adat sangat mandiri-- meski tanpa campur tangan negara. Semua warga Kasepuhan memiliki Leuit atau lumbung padi. Hasil panen padi tidak boleh dijual-- kecuali yang boleh dijual hasil pertanian seperti ubi, singkong, sayur, serta hewan ternak. “Setiap warga memiliki lumbung padi. Juga punya lumbung padi bersama yang dimanfaatkan untuk kegiatan Kasepuhan, seperti upacara adat Seren Taun, “ujar Abah Sutarya di Kasepuhan Cicarucub. Masyarakat adat memiliki filosofi yang sangat arif-- dalam memperlakukan bumi sebagai “Ibu” dan langit sebagai “Bapak”.
“Panen padi 1 kali dalam setahun, ada 3 bulan masa jeda. Tanah diistirahatkan, biar tak lelah. Selama 1 tahun, ke bumi (Ibu) manusia bersifat merusak tanah dan tumbuhan. Bumi yang memberi kehidupan, jadi perlakukan bumi sebaik mungkin-- seperti menghargai ibu, “ujar lulusan Akademi Perawat itu. Di Kasepuhan Cicarucub masih dilestarikan tradisi “Serah Pongokan” atau peleburan dosa. Sebab manusia ada sifat baik dan buruknya. Setiap hari selasa selama satu bulan, warga Kasepuhan Cicarucub tidak boleh menebang pohon atau merusak tanaman.

Selama 1 tahun sifat merusak manusia pada alam sangat besar. Manusia diberikan titipan untuk generasi yang akan datang. “Orang adat tidak hanya di kehidupan sekarang, tapi juga di masa depan, “seru Abah Sutarya. Meski banyak ritual-ritual adat selaras dengan alam-- namun beberapa masyarakat adat juga terlibat dalam perusakan lingkungan seperti pertambangan emas di Desa Neglasari dan Warung Banten.
Menurut Abah Sutarya, masyarakat diintimidasi untuk mau menjual tanahnya, sehingga tanpa sadar terlibat dalam pengrusakan lingkungan. Dampak dari eksplorasi tambang emas ilegal sangat dirasakan warga di sekitarnya seperti menghambat sumber air, banyaknya penyakit akibat mercuri, dan berubahnya pola pikir masyarakat. “Daripada dirusak orang dari luar lebih baik dirusak sendiri, “keluh Abah Sutarya.

















Comments