Mengentaskan Kemiskinan Lewat Pendidikan
Nyaris 20 tahun Ince atau Ridwan Saepudin (45) mengabdi sebagai guru di pegunungan berhawa sejuk di Garut, Jawa Barat. Dulunya, hidup Ince berkiblat pada musik Hard Rock-- dengan lengking chord gitar yang menghentak. Sesekali ia beralih ke genre Slow Rock yang melow. Ince berperawakan sedang, berkulit coklat sawo matang dan garis wajah tegas. Enam tahun lalu di desa Sururon di sela obrolan dengan peluh mengucur, berkelakar, "Musik hanyalah persinggahan dalam hidup saya, meskipun sampai kini masih ada yang merayu agar saya kembali bermusik. 15 tahun saya di dunia musik. Namun kini saya tolak!"

Sejak 2003, Ince memutuskan berhenti memetik senar gitar beraliran cadas, setengah hati ia antara "rela" dan "tidak". Musik begitu mempengaruhi jalan hidupnya-- apalagi bila mendengar syair bertema kritik sosial yang seolah menusuk nuraninya. Ince penggemar lagu-lagu balada Bob Dylan, penyanyi tersohor Amerika dan Iwan Fals. "Seperti melayang. Lagu cinta pun bisa menginspirasi saya, sebagai refleksi diri," imbuhnya terbahak.
Pada 2008, di suatu pagi yang dinginnya menusuk tulang-- Ince menempuh perjalanan berjarak 30 kilometer dengan motor yang diperolehnya saat memenangi acara reality show di televisi swasta. "Saya orang yang selalu beruntung," candanya. Ince menelusuri bebukitan hijau yang dibelah lembah dan sungai-sungai kecil menuju Desa Sarimukti. Desa kecil ini terletak di atas perbukitan, di sebelah barat kabupaten Garut. Posisinya berada di pegunungan Darajat yang berhawa sejuk dan diketinggian 1.500 meter diatas permukaan laut.
Secara administratif, desa Sarimukti berada di kecamatan Pasirwangi, yang luas arealnya sekitar 317,63 hektar terbagi dalam 14 kampung, 2 dusun, 4 rukun warga dan 18 rukun tetangga. Sepanjang perjalanan menuju bukit, alamnya sangat elok. Tak ayal, penguasa kolonial Hindia Belanda menjuluki bebukitan yang berjajar di sekitar gunung Papandayan sebagai "Swiss van Java". Desa Sarimukti merupakan lahan subur yang dihujani abu vulkanik-- yang mengendap selama ratusan tahun, di wilayah itu pula dikenal sebagai penghasil holtikultura.
"Jarak tempuh selama 1 jam agak melelahkan, naik turun bukit jalan sedikit curam," ujar Ince. Toh, dia rela menempuh jarak yang begitu jauh dari rumahnya yang asri di pinggiran kota Garut, demi secercah harapan bagi pendidikan. Ince pun tergugah menjadi guru relawan tanpa gaji di Sekolah Petani MTS Sururon. "Dibayar doa dan sukarela," sergah Ince tertawa.

Di sekolah petani dari tingkat SD – SMP, tak dipungut biaya sepeser pun. Letak desa yang begitu jauh dari akses jalan dan kota kabupaten menjadikan desa ini terisolir dari hiruk-pikuk pendidikan modern. Masyarakat sendiri yang memiliki kesadaran untuk mengubah nasibnya dengan pendidikan yang lebih baik. Meski sekolah ini dibawah naungan Yayasan Pengembangan Masyarakat dan Organisasi Serikat Petani Pasundan.
Sekolah petani Sururon digagas oleh Boy Fidro, aktivis pendidikan jebolan ITB, Ince dan masyarakat sekitar. "Sesungguhnya Mas Boy yang gigih mengajari, memberikan kesempatan saya, "kilah Ince. Kegiatan belajar-mengajar dimulai sejak 14 Juli 2003 lalu, bangunan sekolah pun berupa rumah panggung yang sangat sederhana terbuat dari kayu yang disumbang warga desa, begitu juga lahan sekolah yang dipinjamkan oleh warga desa. Sekolah petani ini berpedoman pada kurikulum nasional, namun dalam mengelola sekolah Ince menerapkan active learning dan sistem pengajaran terpadu.
Harapannya tak muluk-muluk, Ince ingin murid-muridnya memiliki sikap kritis dan berakar pada basisnya di desa, meskipun mereka dari keluarga buruh tani yang miskin. Selain kelak, lulusannya bisa memiliki keterampilan mengelola lahan pertanian dan menjaga keseimbangan alam. "Yang penting mereka memiliki kebanggaan, sekaligus keseimbangan menalar yang rasional dan memiliki moral yang baik.

Itu adalah prinsip dasar dan modal utama anak-anak kedepan," ujar Ince. Sekolah berbasis pertanian, manajemen sekolahnya 100% dikelola swadaya oleh masyarakat-- yang nyaris tak mengampu pendidikan dasar dan banyak orangtua murid buta aksara. "Saya bersyukur 5 angkatan, dengan 100% kelulusan saat ujian akhir nasional. Hanya yang tak mengikuti ujian nasional terpaksa tak lulus atau putus sekolah. Maklumlah, mereka anak-anak buruh tani yang memiliki keterbatasan waktu belajar. Anak-anak terpaksa membantu orang tua bekerja sebagai buruh tani," ujarnya.
Meskipun sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak buruh tani yang miskin, namun prestasi anak-anak amat membanggakan. Masyarakat desa Sarimukti kebanyakan berprofesi sebagai buruh tani harian yang hidup dengan jerat hutang rentenir dan belenggu kemiskinan. Mereka bergantung upah rendah Rp. 8000 untuk buruh perempuan dan upah Rp. 10.000 untuk buruh lelaki. "Justru sekolah kami berpredikat terbaik-- saat ujian akhir nasional pada 2005 di bidang matematika, itu kebanggaan kami, "kenang Ince saat itu.
Jangan bayangkan murid-murid Ince belajar dengan fasilitas yang memadai seperti anak-anak kota. Mereka belajar lesehan tanpa alas, hanya menggunakan meja kayu kecil dan sebuah buku tulis yang lecek. Saat pergi ke sekolah pun bersandal jepit dan berseragam lusuh. Toh, suasana belajar dan bermain tetap riuh-riang oleh suara canda-tawa. Kemiskinan tak memupuskan harapan anak-anak desa Sarimukti bangkit.

Saat musim hujan, jalanan tanah lengket dan dinginnya menusuk tulang. Toh, semangat anak-anak bersekolah tak memudar. Dorongan itulah yang membanggakan Ince sebagai guru-- sekaligus merelakan karir musiknya berhenti. Ia yang drop out dari Universitas, tak menyesali perubahan hidupnya. "Hidup saya sekarang jauh berarti. Soal rejeki, biar Tuhan mengatur. Saya bisa ternak dan wirausaha kecil-kecilan untuk membiayai kebutuhan keluarga, "ungkapnya. Bagi Ince tantangan terbesar justru pusaran kemiskinan yang melilit desa-desa di Garut.
Sebab itu Ince membangun sekolah secara swadaya dan mengajak warga mengubah pola pikirnya agar lebih maju dan kesejahteraan-- didukung sumberdaya manusia yang mumpuni. Tentunya ada timbal-balik agar ilmu tak semata-mata pergi setelah proses belajar selesai. Anak didik Ince yang meneruskan, mengabdi dan mengembangkan desanya, terbukti dengan berdirinya SMK Pertanian Sarimukti. “Kini sudah angkatan ke-6, bekas murid-murid dulu saling bantu untuk mengembangkan sekolah, “ujar Ince dalam wawancara telpon.

Setelah tak lagi mengajar di desa Sururon, Ince meluaskan semangat mengajarnya. Merambah desa-desa terpencil lainnya untuk memenuhi pendidikan di Garut. Berdirilah SMP Al Bayyan di kaki gunung Cikuray-- berdinding gunung tertinggi ke empat di Jawa Barat, yang memiliki ketinggian 2.821 meter di atas permukaan laut-- dan di kelilingi hutan tropis berhawa sejuk. “SMP Al Bayyan lebih terintegrasi dengan pesantren dan masyarakat. Lebih solid dan masyarakatnya terbuka, kolaborasinya lebih kental, “terang Ince.
Sekolah yang dikelola swadaya itu memasuki tahun ke 4. Sebanyak 60 orang murid SMP dan 200 santri yang terdaftar. Ince pun lebih mantab mengelola sekolah berbasis petani bersama masyarakat Cikuray. Ia tak lagi rindu berjingkrak di atas gemerlap panggung-- memainkan musik cadas, memetik senar gitar yang menghentak. Rock n Roll hanyalah masa lalu baginya.