Pertunjukan magis 'Si Bambu Gila' dari Maluku Utara
Asap dupa mengepul beradu bau menyengat menusuk hidung. Diiringi suara ritmis tetabuhan tifa dan lengking suara fuu (tiupan kerang). Lalu Kapita (Pawang) merapalkan doa-doa pada semesta-- di tangannya menggenggam kayu yang tersulut api. Gumpalan asap putih melayang di udara. Lima penonton mengangkat bambu berdiameter 8 centimeter dan panjang 4 meter, yang terbungkus kain kuning diikat tali merah. Pertunjukan rakyat Maluku Utara digelar di halaman Museum Nasional, di Jakarta pada akhir pekan.

"Ah, bambu ringan, "seru satpam Herman ingin mencoba. Tatkala Kapita mulai merapalkan mantra dengan mulut komat-kamit "Baramaseun idadi gou, gou" (Jadi, maka jadilah), bambu pun mulai bergerak lincah. Berputar seperti arah jarum jam, kadang tak beraturan-- mengikuti arahan si Kapita. Lima pemuda seperti kesurupan.Di sambut hentakan kaki dan pekik suara mulut para pemusik tradisional. Alat musik tifa, kabel, fuu dan gong mengalun dinamis-- bertempo sangat cepat.

Lima pengangkat bambu tampak lemas-- butir keringat jatuh bercucuran. "Saya gak kuaaat...beraaat..." teriakan itu terdengar. Pertunjukan magis itu bernama Baramaseun atau Bambu Gila, merupakan pertunjukan rakyat Kesultanan Kieraha, Maluku Utara. "Benar-benar berat sekali, "kata Herman keheranan. Tradisi Bambu Gila menjadi khazanah budaya lokal yang dilestarikan di 4 wilayah Kerajaan Kieraha: Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan, sejak berabad silam.

Kapita berbaju khas fanyira, berikat kepala hitam dililitkan dirambutnya itu-- seorang guru SMK Nasional di Bandung. Bernama Firman Munawid Muhidin, 28 tahun. "Lupa afa kie se gam, jangan lupakan gunung dan tanah kelahiran, "ujar Firman. Bambu Gila dulunya digunakan para leluhur mereka untuk mengangkat barang yang berat. "Misalkan ketika membuat kapal atau perahu di gunung, bahan dasarnya kayu yang berat. Bagaimana perahu yang berat itu bisa dibawa ke laut, "ujar Firman.

Lima orang yang terlibat mengangkat bambu dengan meloncat, bergerak dan mengikuti irama musik arahan Kapita-- digambarkan memiliki emosi yang berbeda tapi tetap satu tujuan. "Egoisnya disitu, satunya menarik dan satunya menahan. Tapi dengan kebersamaan, kita satu tujuan, "imbuhnya. Istilah itu dikenal sebagai "Mari moi ngone kuturu" yang artinya Bersatu Kita Teguh!


Tradisi Bambu Gila bagi pemuda Maluku Utara di perantauan justru sebagai tuntunan hidup untuk menghargai tradisi leluhur dan budaya lokal-- bukan sekedar pertunjukan di ruang budaya. Mereka percaya doa-doa untuk leluhur-- yang berada di dunia roh. "Harus diakui ada yang hidup di dunia gaib dan dunia nyata,"ujar pria kelahiran Halmahera.
Bagi Firman pesan leluhurnya sangat bernilai, yakni "Korehio isamote hokomote madodego ogouwah" (Jangan seperti awan-awan ditiup angin kesini ikut-- kesana ikut).Diharapkan pemuda Maluku Utara tidak 'plin-plan' di perantauan, agar tidak selalu terbawa arus global budaya asing. Sedangkan budaya lokal seperti Bambu Gila dilupakan. Padahal filosofi dan kearifan lokalnya sangat mengagumkan.