Dalam sebuah perjalanan bersama 'Macan Pengadilan Indonesia'
Awal tahun 1990-an. Dalam penerbangan pulang ke Jakarta dari Hong Kong, saya berada dalam satu pesawat dengan Adnan Buyung Nasution. Pengacara kondang yang saya kenal saat pembukaan kantornya di bilangan Jalan Sudirman, Jakarta itu menyapa ramah seperti biasa. ‘’Eh ketemu di sini,’’ kata Abang. Dia lalu bercerita baru pulang menghadiri sebuah seminar di Belanda.

Tak lama pesawat mengudara, para pramugari berkebangsaan China mengedarkan makan siang ke masing-masing penumpang. Termasuk ke sejumlah TKW Indonesia yang pulang ke tanah air dari Hong Kong.
Tiba-tiba Abang Buyung bangkit dari kursinya dan menghampiri salah seorang TKW Indonesia. ‘’Dik dari Indonesia ya. Coba saya mau lihat makan siangnya, boleh ya?’’ tanya Bang Buyung. Baki itu diangkat dan tangannya menempel di kotak plastik berisi nasi dan ikan itu. Terasa dingin.
‘’Begini ya. Kalian tidak boleh menerima makanan yang sudah dingin seperti ini,’’ katanya dengan lembut. ‘’Coba lihat penumpang lain. Makanan mereka hangat. Kalian harus protes dan minta makanan yang panas,’’ kata Abang sambil memanggil salah seorang pramugari.
Dengan bahasa Inggris yang bagus, Bang Buyung meminta agar para wanita Indonesia itu diperlakukan sama dengan penumpang lain. ‘’Kalian tidak boleh membedakan mereka,’’ kata Abang Buyung sambil bersungut-sungut kepada pramugari cantik berkulit putih. Dalam waktu singkat, sejumlah pramugari mengangkat makanan dingin yang ada di pangkuan para TKW Indonesia itu dan menggantinya dengan makanan hangat. Wajah mereka ramah dan menanyakan memerlukan air minum es atau minuman ringan lainnya.

Kisah itu teringat kembali tatkala membaca Adnan Buyung Nasution wafat, Rabu kemarin. Macan Pengadilan berusia 81 tahun itu meninggal dunia setelah mengalami operasi gigi. Sebelum meninggal, pengacara senior itu menitipkan secarik kertas kepada koleganya Todung Mulya Lubis. ‘’Dia menulis pesan kepada saya di secarik kertas berbunyi: ‘Jagalah LBH/YLBH. Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan tertindas,’’ kata Todung Mulya Lubis, salah seorang anak didiknya.