Dialogue Institute Gelar Workshop “Dialog Melintasi Perbedaan”
Dalam rangka memeriahkan program Global Philly 2015 dan Peace Day Philly, Dialogue Institute turut ambil bagian dalam acara tersebut dengan menyelenggarakan sebuah workshop berjudul “Dialog Melintasi Perbedaan” yang bertempat di gedung Tuttleman Learning Center Universitas Temple Philadelphia pada tanggal 17 September lalu. Acara ini merupakan wujud aktif DI untuk berpartisipasi dan menunjukan komitmen DI sebagai sebuah lembaga yang konsisten dalam mengkampanyekan dialog sebagai sebuah format untuk mencari resolusi dan melestarikan perdamaian.
![](https://static.wixstatic.com/media/f82672_f033dc4e20684633a979003c61f318e9.jpg/v1/fill/w_960,h_720,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/f82672_f033dc4e20684633a979003c61f318e9.jpg)
Dalam acara yang dipandu oleh Rebecca Mays sebagai Direktris Eksekutif dan Professor Leonard Swidler yang merupakan pendiri DI, ternyata cukup diminati oleh berbagai kalangan. Hal ini terbukti dengan jumlah kalangan yang berjumlah hampir tiga puluh orang dengan latar belakang pekerjaan, umur, etnis, agama yang berbeda-beda. DI kemudian mempraktekan metode dialog “Sula” kepada setiap peserta guna mengetahui secara mendalam lawan bicara. Metode ini sejatinya berasal dari tradisi Yahudi yang menekankan kedekatan antara dua lawan bicara untuk mengetahui lebih dalam dan lebih lanjut tentang lawan bicara.
Seluruh peserta yang hadir tampak antusias mengikuti metode ini dan tampak terhanyut dalam dialog yang berdurasi selama 15 menit. Para peserta kemudian diberikan kesempatan untuk melakukan refleksi mengenai proses dialog yang mereka lakukan, yang kemudian disambut oleh berbagai macam opini dan masukan mengenai keefektifan metode ini. Yang menarik adalah walaupun metode dialog ini berasal dari tradisi Yahudi, tidak satu peserta pun yang berkeberatan dengan hal ini (kebanyakan peserta merupakan penganut Kristen, Islam dan Hindu).
![](https://static.wixstatic.com/media/f82672_c107926929c24918947e905762892cce.jpg/v1/fill/w_960,h_720,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/f82672_c107926929c24918947e905762892cce.jpg)
Hal lain yang menarik perhatian dalam acara workshop ini adalah hadirnya kelompok Sufi dari dua aliran yakni tarekat Muridiyya dan Mustafawiyya yang berasal dari benua Afrika. Kehadiran Sheikh Aly N’Daws yang merupakan pemimpin tarekat Muridiyyah yang berpusat di Senegal bersama rombongannya yang berasal dari beberapa negara di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, Mauritius dan Inggris.
Syeikh Aly yang baru saja mengadakan acara di Atlanta menekankan pentingnya dialog untuk mencari resolusi bagi semua permasalahan umat manusia di dunia. Menurutnya dialog juga harus dilandasi dengan rasa kasih dan peduli yang tinggi sehingga tujuan dialog tentunya akan menjadi mudah dicapai. Syeikh Ali dengan tegas menolak segala bentuk kekerasan karena Islam menurutnya adalah agama yang mengajarkan cinta kasih dan perdamaian tidak hanya kepada sesame umat manusia namun juga kepada alam semesta.
![](https://static.wixstatic.com/media/f82672_2dbb1744312149679c96b62140124036.jpg/v1/fill/w_960,h_640,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/f82672_2dbb1744312149679c96b62140124036.jpg)
Hal ini pulalah yang menggerakan beliau untuk memulai gerakan permaculture bagi pengembangan komunitas di Senegal. Permaculture – berasal dari kata permanent dan agriculture – adalah filosofi desain terpadu yang melingkupi berkebun, arsitektur, hortikultur, ekologi, bahkan manajemen keuangan dan desain komunitas. Pendekatan dasarnya adalah menciptakan sistem lestari yang menyediakan kebutuhan masyarakat dan mendaur ulang limbah yang dihasilkan. Sultana Arifa, salah satu pengikut tarekat dan juga murid terdekat Syeikh Aly, menegaskan bahwa Al Qur’an menegaskan posisi manusia sebagai khalifah atau pemimpin adalah dengan menciptakan harmonisasi tidak hanya relasi dengan manusia namun juga dengan alam semesta.
Ke depan ia berharap program ini dapat memberikan implikasi positif bagi kehidupan komunitas di sana dan juga sekaligus mempromosikan Islam sebagai agama damai yang juga peduli lingkungan terlebih sekarang ini isu lingkungan seperti pemanasan global dan perubahan iklim sedang mendapat sorotan yang sangat serius dikarenakan banyaknya musibah bencana alam yang lebih disebabkan oleh gaya hidup manusia yang berdampak buruk terhadap lingkungan.
Kembali ke dalam topik yang menekankan tentang pentingnya dialog, Farinia Fianto yang saat ini sedang melakukan internship di DI, menawarkan pengalaman dirinya dalam melakukan dialog antar agama selama ia bekerja di lembaga International Center for Islam and Pluralism (ICIP) Jakarta. Menurutnya di Indonesia, dialog tidak lagi berada di kisaran mempertemukan perbedaan namun lebih kepada menerima dan merayakan perbedaan sebagai sebuah fakta yang sedari dahulu sudah disadari oleh para pendiri bangsa Indonesia. Kemajemukan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia haruslah dilihat dan disadari sebagai sebuah modal atau asset yang berharga yang memperkaya khazanah budaya Indonesia. Lebih lanjut Islam melalui Al Qur’an surat al Hujurat 13 menegaskan bahwa Allah memang sengaja menciptakan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, berbagai macam suku bangsa dan suku agar dapat saling mengenal. Narasi bahwa setiap manusia adalah sebuah pribadi yang unik dan berbeda juga merupakan sebuah fakta yang sudah seharusnya diresapi oleh setiap anggota masyarakat sehingga hal ini dapat meminimalisir isu yang ditimbulkan oleh perbedaan.
![](https://static.wixstatic.com/media/f82672_b747be28925c484ab0347417ee462974.jpg/v1/fill/w_960,h_720,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/f82672_b747be28925c484ab0347417ee462974.jpg)
Pada akhirnya workshop ini ditutup dengan beragam pendapat dan sepakat bahwa dialog merupakan sebuah kunci bagi usaha perdamaian. Dialog memang tidak serta merta dapat langsung meredam konflik, diperlukan niat, usaha dan komitmen yang kuat dan serius dalam melakukan dialog. Selain itu dialog sudah seharusnya dilakukan secara teratur dan berkesinambungan guna tetap mempertahankan suasana kondusif dan stabil. Masyarakat secara umum perlu didorong untuk melakukan dialog dengan difasilitasi oleh negara dan juga lembaga civil society termasuk lembaga akademis seperti Dialogue Institute karena ada adagium yang mengatakan silent may not kill but dialogue surely heals.