FX Harsono: Membongkar pembantaian etnis Tionghoa Indonesia di Tyler Rollins Fine Art, New York, AS.
Ratusan penduduk etnis Tionghoa pernah dibantai di Jawa pada tahun 1947 hingga 1949. Pembantaian yang dilakukan kelompok milisi bersenjata Indonesia itu hanya bermotif perampokan. ’’Kala itu memang beredar isu etnis Tionghoa mendukung kembalinya RI ke tangan Belanda. Isu itu yang dijadikan alasan untuk menghabisi etnis minoritas tersebut, padahal maksudnya merampok,’’ tutur FX Harsono.
Pembantaian itulah yang dijadikan tema utama pagelaran seni rupa FX Harsono, di Galeri Tyler Rollins Fine Art, New York, AS. Pameran tunggal berjudul ‘The Chronicles of Resilience’ tersebut digelar mulai 3 Maret hingga 9 April 2016. ‘’Tidak ada penjelasan atau rekonsiliasi yang ditawarkan pihak pemerintah tentang pembantaian ini,’’ kata Leeza Ahmady, kurator seni Asia Tenggara dalam sambutan acara pembukaan pameran itu. Tak kurang dari 50 pengunjung, di antaranya dari warga Indonesia yang berdiam di AS dan pejabat Konsulat Jenderal RI di New York ikut hadir dalam pameran tersebut.
Pameran kontemporer itu terasa unik, karena menampilkan berbagai media. Mulai dari video, audio dan instalasi ruang. Sebuah proyek online berjudul ‘Digital Soul’, misalnya, mengajak pengunjung berinteraksi dengan lokasi kuburan massal etnis Tionghoa di berbagai kota dari Banyuwangi di Jawa Timur hingga Banten, Jawa Barat. Harsono menampilkan foto-foto yang diunggah ke Google map, sehingga dengan hanya lewat klik, pengunjung dapat melihat lokasi kuburan di layar komputer. ’’Saya menemukan seluruh lokasi itu dari hasil wawancara dengan sejumlah saksi hidup yang lolos dari pembantaian itu,’’ tutur Harsono. Sejak tahun 2009, Harsono menelusuri kuburan massal itu berdasar foto-foto yang dipotret ayahnya, seorang potret etnis Tionghoa di Blitar, 60 tahun lalu.
![](https://static.wixstatic.com/media/f82672_a846fde42fa24dd89b1aa82a9b1f71c1.jpg/v1/fill/w_852,h_640,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/f82672_a846fde42fa24dd89b1aa82a9b1f71c1.jpg)
Ada pula 33 potret berjejer di dinding yang menggambarkan sejumlah warga yang menemukan tengkorak di atas kuburan massal. Potret itu berdasarkan dokumen yang ditemukan Harsono dalam risetnya di Arsip Nasional Universitas Leiden, Belanda. Jajaran potret itu diberi judul ‘Memorandum of Inhume Acts’, dan diberi penjelasan dalam bahasa Inggris yang intinya: ’’Aksi kekejaman dan tindakan tidak manusiawi sekelompok orang Indonesia terhadap etnis Tionghoa sebelum dan sesudah Belanda membentuk satuan polisi 21 Juli 1947’’.
Dalam proyek instalasi yang diberi judul ’Memory of the Survivor’, Harsono menampilkan replika batu nisan para korban pembantaian itu. Di atasnya diberi lilin yang menggambarkan simbol emosi, fisik dan spiritual seorang wanita berusia 85 tahun yang menjadi saksi hidup dan diwawancara Harsono. Sementara foto wanita tua itu diproyeksikan di punggung sebuah kursi roda, diwarnai suara rekaman yang terdengar saat pengunjung lewat. Di atasnya digantung 200 lilin warna merah yang melambangkan penghormatan kepada keluarga para korban yang hanya diam, tidak mau membalas dendam dan mengungkap amarah.
![](https://static.wixstatic.com/media/f82672_ff1321bb9e98454e9272e82e30d50eb7.jpg/v1/fill/w_852,h_640,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/f82672_ff1321bb9e98454e9272e82e30d50eb7.jpg)
Pameran tunggalnya di Galeri Tyler Rollins Fine Art kali ini, merupakan pameran kedua setelah Harsono menggelar pameran berjudul ‘Writing in Rain’ pada 2012 lalu. Bahkan, salah satu penggagas Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia tahun 1975 ini telah menggelar seratus kali pameran di berbagai negara dengan tema sejenis. Di antaranya, ‘Testimonies’, Singapura 2010; ‘Taboo and Transgression in Contemporary Indonesia Art, 2005 di museum seni The Herbert F. Johnson, Cornell University, 2005. Juga Beyond the East di MACRO, Roma, Italia, 2011, serta sejumlah pameran di negara-negara lain.
Tak cuma itu. Harsono, lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Yogyakarta tahun 1974 ini, mendapat hadiah Joseph Balestier Award for the Freedom of Art pada 2015 dari Pemerintah AS. Setahun sebelumnya, Harsono juga diberi hadiah Prince Klaus Award atas ‘’Peranannya yang cukup penting bagi sejarah Seni Kontemporer Indonesia selama 40 Tahun’’ dari pemerintah Belanda. Bahkan Harsono tak sempat menghadiri pagelaran pamerannya di New York sampai selesai, karena harus berangkat ke Sydney, Australia menghadiri acara Sydney Biennale yang berlangsung 18 Maret hingga 5 Juni 2016.
![](https://static.wixstatic.com/media/f82672_d8e0a8fb897744a6b538b78400b1b6c2.jpg/v1/fill/w_852,h_640,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/f82672_d8e0a8fb897744a6b538b78400b1b6c2.jpg)